Dualisme Pemahaman Ruang dalam Wacana IKN, Analisa Sok — Mahasiswa Antro

Daiva Keefe
9 min readJun 24, 2023

--

Sumber : SSan Google Maps

Kalimantan dikenal sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, dengan lahan yang mencapai 74 juta hektare — 53 juta hektare termasuk bagian wilayah Indonesia — dengan 26% lahan dimiliki Malaysia dan 1% dimiliki Brunei Darussalam. Kalimantan juga dikenal dengan nama lainnya, Borneo. Nama Borneo diambil dari nama kesultanan Brunei, lantas digunakan para kolonial untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan (Wikipedia). Penggunaan kata Kalimantan lebih spesifik merujuk pada bagian Borneo yang berada pada wilayah Indonesia. Kalimantan selain dikenal sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, dikenal juga dengan bentang alam serta sumber daya alamnya yang melimpah. Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukan bahwa hampir 30% dari seluruh kawasan hutan di Indonesia berada di Kalimantan — luasnya mencangkup lebih dari 36 juta hektar (Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan). Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang tidak melalui ring of fire (lingkaran cincin gunung berapi). Panas matahari tiap tahun yang didapatkan oleh Kalimantan juga menjadikannya daerah dengan biodiversitas yang melimpah. Mengingat lanskap Kalimantan yang basah — banyak sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan — menjadikan Kalimantan salah satu penggerak industri Indonesia dalam sektor perkebunan dan hasil bumi.

Lebat tertutup rimba, Kalimantan menyimpan kehidupan terselubung manusia di dalamnya. Kehidupan yang nyata dan kompleks bentuknya. Akan tetapi kehidupan-keidupan ini terusik status quonya, karena industri yang dibawa oleh para pemegang alat untuk memenuhi hasrat kapitalisnya. Negara menaruh perhatian kepada Kalimantan sebagai salah satu daerah yang dapat di eksploitasi guna kepentingan bersama. Wacana IKN pindah ke Kalimantan menjadi isu hangat yang dibicarakan di media sejak 2019 silam. Awalnya wacana yang digagas oleh Jokowi ini dikira sebuah wacanan guyonan atau candaan belaka. Tetapi kemudian media-media serta Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (KPPN) menerbitkan rancangan pembangunan ibukota diwilayah Kalimantan. Melansir dari laman Kementrian Komunikasi dan Informatika Repulik Indonesia (Kominfo), lokasi ibukota negara yang baru akan berada di sebagian Kabupaten Penajam Pasir dan sebagaian di Kabupaten Kutai Negara, Kalimantan Timur. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan: 1. Resiko bencana yang minim (banjir, gempa bumi, gunung berapi), 2. Lokasi yang berada di tengah-tengah Indonesia — dianggap strategis, 3. Lokasi ini berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, 5. Sudah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah, kurang lebih 180.000 hektar.

Wacana pemindahan ibukota ini tentu menimbulkan suatu konflik ruang pada masyarakat Kalimantan. Membawa sebuah metropolitan ke daerah rural, berarti mebawa skema kapitalis ke daerah tersebut — walupun kapitalisme sudah mengakar pada keseharian kita — terutama dalam hal perencanaan ruang. Penulis menggunakan kajian Lefebvre mengenai ruang kapitalis yang ditulis dalam salah satu bukunya yang berjudul “The Prodution of Space”. Dalam bukunya Lefebvre menyinggung soal ruang kapitalis, dimana semua tata ruang atau ruang yang dikonstruksikan dibentuk atas dasar mencari profit atau laba berdasarkan prinsip kapitalisme. Tulisan Lefebvre menarik minat penulis, mengingat wacana pembangunan ibukota negara di Kalimantan pastinya dibangun atas dasar ruang kapitalis tadi. Lantas apakah pemaknaan ruang masyarakat lokal Kalimantan selaras dengan pemaknaan ruang kapitalis pemerintah?

Ruang: Dua Sudut Pandang

Memahami ruang melalui sudut pandang masyarakat lokal menjadi salah satu cara memahami keluhan pembangunan ruang yang terjadi di Kalimantan pada saat ini. Ruang bagi masyarakat Kalimantan diartikan sebagai suatu hal yang komunal. Hutan digambarkan sebagai ibu bagi orang dayak (Samsoedin et al. 2010). Mengambil contoh melalui mite masyarakat Dayak Jalai mengenai cara pandangnya terhadap dunia, dunia harus dipertahankan eksitensinya dengan cara memberikan jaminan agar semua mahluk, baik yang nampak ataupun tidak, yang hidup maupun yang mati, manusia, binatang, tumbuhan, dapat eksis bersama-sama dalam interaksi yang seimbang dan harmonis (Institut Dayakologi, 2023). Mengambil salah satu contoh dari mite Dayak mengenai proses penciptaan; mite Dayak Ngaju, mempercayai bahwa alam semesta lahir dari sebuah chaos/peperangan. Dari sini pola pertanian berpindah muncul, dengan memotong dan membakar (membuka lahan) lahirlah sebuah kehidupan baru (ladang).

Melalui mite-mite tentang penciptaan alam semesta dan cara menjaga lingkungannya, dapat kita pahami mengapa pola pertanian masyarakat Dayak didominasi oleh pola pertanian berpindah‒diluar kondisi tanah gambut yang tidak sesubur pulau jawa.‒dan mengapa masyarakat Dayak tidak membabat habis semua hutan lalu dijadikan ladang. Konservasi yang dilakukan masyarakat Dayak sebenarnya ditujukan untuk menjaga persedian untuk dirinya sendiri sebenarnya (Wadley and Colfer, 2004), namun tindak pelestarian ini membentuk sebuah ruang yang berbeda bagi masyarakat Dayak. Pada masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan Timur konsep tata ruang yang digunakan oleh mereka, memiliki metode yang unik disesuaikan oleh pengetahuan lokal mereka. Pada artikel berjudul “Konsep Tata Ruang dan Pengelolaan Lahan Pada Masyarakat Dayak Kenyah Kalimantan Timur” Sasmoedin, Wijaya, dan Sukiman membagikan pandangan orang Dayak Kenyah dalam memahami ruang mereka. Orang Dayak Kenyah memahami perkampungan atau lahan mukim misalnya, sebagai sebagai tempat bermula dan berahirn segalanya, tempat sentral aktivitas hidup. Pemukiman memiliki peran dan ritual bagi masyarakat Dayak Kenyah. Mereka juga memiliki sungai sebagai sarana transportasi dan media pembatas kepemilikan lahan. Terdapat juga kebun (Pula/Linda/Pulug/Bani)‒yang kalau dalam kajian potter “Swidden, Oil Palm, and Food Security in West Kalimantan” disebut Tembawang‒sebuah pulau dalam hutan, bisa ditanam secara sengaja atau tumbuh secara natural lalu dijaga kelestariannya. Ruang ini status kepemilikannya komunal atau bersama, karena pemenehun kebutuhannya biasanya bersama. Hal serupa juga dapat terlihat pada hutan atau tanah desa. Hutan dibagi lagi definisi ruangnya, sebagai ruang bekas garapan yang telah tumbuh dan sebagai ruang konservasi, ruang konservasi dibagi menjadi dua lagi secara sejarahnya, ada yang dikarenakan terjadi peristiwa bersejarah seperti sumpah ada juga yang dikarenakan hutan tersebut merupakan cadangan kerperluan masyarakat.

Pemahaman ruang yang dianut oleh masyarakat dayak sangat berbeda dengan pemerintah yang membangun tata ruang berdasarkan tata ruang kota dalam teori-teori urban. Sebagai ibukota negara masa depanm pemerintah tentunya akan membangun sebuah kota‒menurut Amos Rapoport, kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, permanen dan padat yagn terdiri dari kelompok individu yang heterogen. Kota megah dengan segala embel-embel smart di dalamnya. Ruang kota yang berdiri diatas tanah seluas kurang lebih 256.142 ha dengan wilayah perairan laut seluas kurang lebih 68.189 ha (IKN.go.id, 2023) ini mencangkup wilayah hutan yang akan dibuka menjadi lahan bangun. Wilayah hutan yang di dalamnya terdapat lahan komunal seperti hutan sakral, tembawang, danau, dan lain sebagainya.

Menurut Lefebvre dalam buku “The Production of Space” pembangunan dan ruang yang dibangun saat ini didasari oleh konsep-konsep kapitalis, poduktif dengan output semaksimal dan semutakhir mungkin. Hal ini termasuk tata kota, bagaimana sebuah kota dirancang untuk dapat produktif dan efisien dalam menjalankan segala kinerjanya. Pembangunan IKN berorientasi ke arah ini. Gaung kota dunia yang berkelanjutan terus dibawa dalam perkembangan IKN yang kian hari kian masif. Dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara Bab I pasal 2 dijabarkan tujuan pembangunan IKN sebagai (1) Kota berkelanjutan di dunia, (2) Sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, (3) Menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam draf ini perkataan Lefebvre mengenai ruang kapitalis terwuju, kota ini nantinya akan dipenuhi dengan tendensi kapitalis guna menjadi pionir ekonomi Indonesia. Untuk menunjang diri sebagai pionir perekonomian Indonesia, IKN harus memiliki fasilitas‒dalam hal ini ruang/lahan‒yang memadai. Pemerintah memaknai ruang yang akan dibangunnya sebagai kota mutakhir dengan fasilitas yang mengakomodir jalannya roda perekonomian serta pemerintahan, namun dengan konsep green city‒ramah lingkungan. Tentu hal ini tidak mengikutsertakan pemahaman ruang sebagai tempat komunal yang dibawa masyarakat Kalimantan.

Eksklusi Lahan

Ekslusi lahan sebagai kondisi cenderung menunjukan sebuah situasi dimana sebagian besar orang kekurangan akses ke tanah atau tanah dianggap sebagai milik pribadi. Sementara ekslusi sebagai proses menunjukan pengambilan tanah secara paksa‒terkadang dengan kekerasan‒oleh aktor-aktor penguasa, biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang miskin yang termarginalisasi (Hall et al. 2011). Praktik eksklusi ini bukan sebuah praktik yang hadir begitu saja secara tiba-tiba, di udara yang menipis. Akan tetapi merupakan sebuah praktik yang muncul secara struktural (Hall et al. 2011). Eksklusi lahan biasanya digambarkan sebagai praktik pengambilan lahan tani yang diambil oleh kapitalisme‒perkebunan, tambang, dan lain sebagainya. Pada kasus yang sering terjadi di Asia Tenggara Khususnya Kalimantan, Ekslusi lahan ini dibalut dalam program-program migrasi‒dalam kasus Kalimantan‒atau program sertifikasi lahan.

Pembatasan lahan ini mengambil asumsi masyarakat miskin tidak memiliki lahan dan membutuhkan lahan lebih untuk digarap, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, pandanga ini berujung pada program transmigrasi besar-besaran dari puau Jawa ke wilayah dengan lahan yang

Peta RDRT Ibu Kota Negara, Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

masih luas. Dalam kasus pembangunan IKN eksklusi lahan terjadi pada masyarakat yang tinggal di area pembangunan IKN. Pemerintah punya sekitar 2 ribu hektar lahan yang didalamnya masih belum terjamah‒masih berupa hutan dengan akses jalan yang minim. Dalam lahan-lahan yang masi berupa hutan-hutan itu kemungkinan tanah adat yang bersifat komunal masi tersisa ditengah gempuran perkebunan. Praktik ekslusi lahan mungkin akan terjadi mengingat RUU Tentang Ibu Kota Negara Bab II pasal 16 menjelaskan mengenai badan Otorita Ibu Kota Negara sebagai badan yang memegang wewenang penuh atas seluruh tanah negara yang akan dijadikan ibu kota negara yang baru, ia mendapatkan hak kelola tanah oleh negara sesuai dengan perundang-undangan, bebas melakukan pembangunan yang bertujuan untuk publik dan ibu kota negara yang baru. Dalam Power of Exclusio: Dilemmas in South East Asia, menjelaskan mengenai kekuatan yang membentuk ekslusi salah satunya regulasi. Dalam RUU yang penulis jabarkan penggunaan regulasi sebagai kekuatan untuk mengekslusi lahan yang ada di wilayah pembangunan IKN dapat terlihat, walaupun yang penulis paparkan masih berupa draf rancangan undang-undang, akan tetapi tendensi yang dibawa sudah mengarah kearah ekslusi lahan.

Pemahaman mengenai ruang yang dipahami oleh negara juga masyarakat Kalimantan harus dapat bersinergi satu sama lainnya. Melalui peta rencana detil tata ruang ibu kota negara yang diterbitkan Kementrian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dapat kita lihat hampir seperempat bagian dari ibu kota negara yang baru dikelilingi oleh hutan. Ini merupakan konsep forrest city yang digaung-gaungkan oleh pemerintah, mempromosikan ibu kota baru sebagai kota yang ramah akan lingkungan. Tetapi bagaimana nasib para masyarakat Dayak pemilik lahan yang dialienasi dari hutan adatnya sendiri. Apakah hutan yang mengelilingi kota dapat digunakan oleh masyarakat Dayak selayaknya mereka menggunakan hutan sebelum adanya pembangunan IKN? Pertanyaan macam ini harus dikaji lebih mendalam guna menghindari praktik eksklusi lahan, yang diharapkan adalah akses kepada lahan, keuntungan apa yang mereka dapatkan.

Jadi,

Pembangunan Ibu Kota Negara yang baru dapat menimbulkan suatu permasalahan yang sedari dulu, dalam perkembangan kota-kota metropolitan maupun program-progam pengadaan lahan tidak terselesaikan, pemaknaan yang tidak memikirkan sudut padang emic. Perbedaan sudut pandang mengenai ruang yang penulis jabarkan diatas menjadi sebuah contoh bagaimana kajian antropologi membedah sebuah permasalahan sosial yang mungkin akan terjadi dimasa depan. Perbedaan sudut pandang yang terjadi di Kalimantan antara pemerintah, sebagai agen pembangunan dan yang membuat regulasi dengan masyarakat lokal sebagai penerima regulasi dapat menimbulkan suatu permasalahan, ekslusi lahan. Ekslusi lahan yang terjadi karena ruang sudah terpengaruh oleh kapitalisme, menggerogoti setiap sendi kehidupan manusia, sehingga menjadi bak agama yang dijadikan pedoman dalam mengkonsturksikan ruang. Ekslusi lahan ini sudah mulai terlihat melalui perencanaan serta peraturan yang dikeluarkan pemerintah, belum yang menyinggung soal perbedaan paham ruang yang ada pada masyarakat Kalimantan dan bagaimana cara mereka harus beradaptasi. Rasanya sayang jika pemerintah dalam perencanaan dan pembangunan ibu kota baru di Kalimantan tidak menggunakan sudut pandang emic. Perencanaan ini menjadi poin penting bagaimana sebuah kota itu nantinya akan bersifat. Mengeksklusi sudut pandang masyarakat Kalimantan akan ruang, kedepannya ibu kota baru hanya menjadi sebuah raksasa besar lainnya bagi masyarakat lokal. Ide-ide mengenai kota yang sustainable dari segi ekonomi, lingkungan, sosial tidak dapat terealisasikan dengan baik.

References

“Daftar Infrastruktur yang Dibangun saat Ibu Kota Pindah ke Kalimantan.” 2019. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanbisnis/daftar-infrastruktur-yang-dibangun-saat-ibu-kota-pindah-ke-kalimantan-1rZZgdzYEsr.

“Hubungan Manusia Dengan Pencipta.” n.d. Pusat Advokasi Dan Informasi Kebudayaan Dayak. Accessed June 23, 2023. https://kebudayaan-dayak.com/budaya/0-1/hubungan-manusia-dengan-pencipta.html.

“Kalimantan.” n.d. Wikipedia. Accessed June 22, 2023. https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan#Sejarah.

“Kementerian Komunikasi dan Informatika.” 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika. https://www.kominfo.go.id/content/detail/20899/ibu-kota-negara-pindah-ke-wilayah-penajam-pasir-utara-dan-kutai-kartanegara/0/berita.

Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space. Translated by Donald Nicholson-Smith. N.p.: Wiley.

Padoch, Christine, Emily Harwell, and Adi Susanto. 1998. “Swidden, Sawah, and In-between: Agricultural Transformation in Borneo.” Human Ecology 26, no. 1 (March): 3–20.

Potter, Lesley. 2011. “Swidden, Oil Palm, and Food Security in West Kalimantan.” Kasarinlan: Philippine Journal of Third World Studies 26 (1–2): 252–263.

Samsoedin, I., A. Wijaya, and H. Sukiman. 2010. “KONSEP TATA RUANG DAN PENGELOLAAN LAHAN PADA MASYARAKAT DAYAK KENYAH DI KALIMANTAN TIMUR.” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7, no. 2 (Agustus): 145–168.

“Tentang IKN.” n.d. IKN. Accessed June 23, 2023. https://www.ikn.go.id/tentang-ikn.

--

--

No responses yet